1. Pengantar
Setiap daerah memiliki berbagai
bentuk kesenian yang menunjukan kekhasannya. Berbagai macam kesenian daerah
tersebut menunjukan bahwa bangsa indonesia memiliki keanekaragaman kesenian
daerah yang menjadikan negara kita dikenal sebagai negara yang kaya akan
bentuk-bentuk kesenian lokal.
Kabupaten Ngada memiliki berbagai macam
kesenian, baik seni suara, seni sastra, maupun seni rupa. Pada kesempatan ini
penulis ingin memaparkan beberapa unsur kesenian yang ada di wilayah Bajawa
beserta maknanya dalam kehidupan
masyarakat.
2. Ragam Seni Daerah
2.1. Nyanyian Ngedi O
Uwi
a.
Penjelasan Singkat Tentang Nyanyian Ngedi O Uwi[1]
Nyayian ngedhi o uwi adalah nyanyian
yang biasa dinyanyikan pada saat perayaan reba di Bajawa. Nyanyaian ini biasa
dinyanyikan oleh bapa rumah sesudah
acara makan bersama yang berlangsung pada malam hari di hari pertama
reba yang dinamakan bui uwi. Menurut
penjelasan, ngedhi adalah leluhur perempuan yang sudah meninggal.
Mereka dipanggil seakan-akan untuk sementara
menjadi istri dari laki-laki yang belum bekeluarga yang hadir dalam
perayaan itu untuk menjaga mereka dari penyimpangan-penyimpangan seksual.
b. Syair dan Arti Nyanyian ngedi O Uwi
Ngedi
si go uwi, uwi go me sili ana wunga, ngedi go uwi, ngedi go ga’e, ngedi go uwi,
puu zili sina one, ngedi go uwi, ngedi go pajo, ngedi go uwi, ne’e da wela,
ne’e da nawa, ngedhi o uwi, ngedi go pea, ngedi go uwi, wai wi deri bale, ngedi
go uwi, lima wi dawe dopo, ngedi o uwi.
Sedangkan arti dari nyanyian ini adalah sebagai berikut:
ngedi o uwi,
ubi dari sili putra sulung, ngedi o uwi,
ngedi dari gae, ngedi o uwi, dari sina nan jauh di pedalaman . ngedi o uwi, negeri dari pajo, ngedi o uwi, ada yang dibunuh, ada
yang dibiarkan, ngedi o uwi, ngedi
dari pea. Ngedi o uwi, kaki yang menginjak pematang, ngedi o uwi, tangan menarik kayu belukar, ngedi o uwi.
c. Makna Nyanyian Ngedi O Uwi
Nyanyian
ngedi o uwi merupakan nyanyian yang
syarat makna, terutama bagi kehidupan para pemuda. Nyanyian ini menyadarkan agar tidak terjebak
dalam aktifitas-aktifitas yang menyimpang seperti seks pranikah dan lain-lain
2.2
Alat Musik Foi Doa
a. Pengertian Foi Doa dan Penjelasan
Singkat Mengenai Foi Doa
Foi doa
adalah salah satu alat musik tradisional yang ada di kabupaten ngada. Secara
harafiah, foi doa berarti suling
ganda. Foi doa biasanya terdiri dari
dua atau tiga potong buluh. Foi doa
dapat dimainkan dengan cara menghembuskan nafas dengan lembut melalui mulut ke
arah lubang yang terdapat pada foi doa
sementara jari-jari tangan menutup lubang foi
doa tersebut.
Foi
doa
merupakan alat musik yang diamainkan pada kesempatan-kesempatan bahagia dan
pada perayaan-perayaan tertentu. musik ini biasanya digunakan oleh para
muda-mudi dalam permainan rakyat di malam hari dengan membentuk lingkaran.[2] Di
daerah Bena, Foi doa biasanya
dimainkan pada saat padi mulai menguning sampai saat panen.[3]
Mereka memainkan musik ini dalam nada gembira dan penuh syukur sambil diiringi
nyayian dhuga.
b. Makna Foi Doa
Ditilik
dari fungsi pemakaiannya, foi doa mengandung
makna kegembiraan dan syukur. Foi doa mencerminkan
kegembiraan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Foi doa juga bermakna syukur atas
keberhasilan, terutama keberhasilan di bidang pertanian. Bagi kaum muda, foi doa
memiliki makna persaudaraan.
2.3 Syair Lisu
Ate[4]
Beserta Arti dan Maknanya
Ja’o
lisu : saya
menyesal
Pege
pu’u one ate : dari dalam hati
Pu’u
zeta ulu pe zale kuku : dari kepala sampai jari kaki
Ja’o
mu da bau tu’u-tu’u : saya sungguh sungguh menyesal
Ja’o
we dongo kopo molo : sehingga saya dapat tinggal di kampung
kebenaran
Ja’o
we lole lego zi’a : sehingga saya dapat tinggal di
rumah yang menyembuhkan
We
la’a netu zala :sehingga saya dapat berjalan di
jalan yang lurus
We
page nono wesa : dapat berjalan dengan langkah-langkah yang
menyelamatkan
Ja’o
nga dhoro : saya hendak turun
Da
so’o roro
: menjadi salah satu yang paling rendah
Ja’o
nga wa’u : saya siap untuk dilahirkan kembali
Da
zale au
: untuk menjadi yang terendah
Raba we ne’e ngaru :
maka (saya) memiliki kekuatan lagi
We
nga ngadhu
: untuk melihat tiang kurban
Raba
we ne’e ngia
: sehingga (saya) memiliki rasa hormat lagi
We
nuka nua
: untuk tinggal di dusun
Syair ini merupakan
bentuk penyesalan diri dari pihak-pihak yang melakukan tindakan pelanggaran
berat seperti hubungan inses dan perkawinan dengan pihak yang memiliki strata
sosial yang lebih rendah yang umumnya disebut la’a sala. Syair ini harus diungkapkan di depan warga kampung dan
para penatua. Inti dari syair ini adalah permohonan untuk diterima kembali menjadi bagian dari masyarakat dengan resiko
menempati starta terendah dalam masyarakat.
Yohanes
Vianey watu berhubungan dengan hal ini mengatakan:
The
important thing for them is the recovering or healing of their personal status
as ordinary human beings (as ‘kitaatta’, simple human) by which they have
regained their strengths to adore and re-establish relationship with the Sacred
on the sacrificial pole (ne ngaru we nga ngadhu) and at the same time get back
their human dignity/honor and thus have a civilized place in all kinds of relationship
with the local religious community members di their hamlet (ne’e ngia we nuka
nua)[5]
Hal ini berarti, yang terpenting bagi mereka adalah
mereka dapat mengembalikan status mereka sebagai manusia biasa agar dengannya
mereka dapat menyembah wujud tertinggi dan membangun relasi dengan masyarakat.
Makna
dari syair ini adalah sebuah penyesalan dan tindakan rekonsiliasi dalam hidup
bermasyarakat. Penyesalan adalah awal dari penerimaan kolektif yang menjadikan
seseorang kembali mendapat tempat dalam masyarakat. Selain itu makna lain yang
diambil adalah kestriaan jiwa seseorang untuk menerima dan mengakui
kesalahannya di depan publik.secara lebih jauh, syair ini mengandung makna
prefentif yaitu sebagai awasan agar orang tidak terlibat dalam prilaku-prilaku
menyimpang yang mengancam statusnya dalam masyarakat.
3. Seni Tari Ja’i Beserta Maknanya
tarian
jai adalah sala satu tarian khas daerah bajawa. Tarian ja’I biasa dibawahkan
pada seremonial adat seperti pada saat reba dan pada acara-acara besar seperti
penyambutan tokoh-tokoh penting. Tarian ini juga sering digunakan secara inkulturatif
dalam gereja.
Makna
dari tarian jai adalah mulanya ada dan menjadi tarian elitis etnik
Ngada, untuk merayakan
sukacita dari kemuliaan jiwa dan kemerdekaan roh, yang ditandai dengan tindakan
konkret untuk 'memproklamasikan identitas kolektifnya (sa ngaza) yang terhubung
dengan The Sacred (dalam nama 'Susu Keri Asa Kae') dan wajib 'memberi makan'
pada sesama yang terhubung dengan pemberdayaan gizi jasmani-rohani.[6]
4. Seni Rupa
4.1.1
Seni
Ukiran Weti Dan Maknanya[7]
Ukiran weti adalah ukiran yang terdapat pada sebatang ngadhu. Ukiran (weti)
terdiri dari sawa, yakni makhluk Ilahi
yg berbadan kuda,berkaki ayam, beleher ular, berkepala kura2 dengan jengger
(mahkota) di kepala, serta berbelalai gajah. Satu batang ngadhu yang merupakan
tempat ukiran weti dibagi 3 (nai telu) yg dibatasi segitiga. Di setiap
batasnya,diukir sawa. Pada bagian
ketiga di pangkal cabang di samping ukiran sawa, di bagian depan diukir rantai
emas, di bagian belakang diukir bandul kalung emas (taka). Ukiran sawa berarti
ular sakral dijadikan simbol dari yang ilahi yg membawa berkat bagi yg berbuat
baik dan kutukan bagi yg brbuat jahat.
Ngadhu terukir (weti) dijadikan rujukan-rujukan
perilaku dan tutur kata sekaligus pengantara dengan yang Ilahi (Dewa zeta ne'ee
nitu zale). Bagi keturunan penjunjung ngadhu (ana woe) yg brsangkutan.
4.1.2
Seni
Patung Ata Sa’o[8]
Di bubungan rumah saka lobo ditempatkan patung "ata sa'o" memegang sau
(pedang) dan bhuja
(tombak). Ata sao
memanifestasikan
kehadiran ilahi,sekaligus sebagai modal manusia yang hidup luhur "sempurna." dengan patung yang ditempatkan di masing-masing atap, sao
saka pu'u
disebut juga sao kopo bhaga: rumah yg bertanggung
jawab perwatan bhaga dan sa'o saka lobo
disebut juga sa'o kopo ngadhu yang bertanggung
jawab terhadap
pemeliharaan ngadhu..
4.1.3
Boku dan Marangia Sebagai Bagian dari Seni
Rias Bajawa
Boku
dan marangia adalah bagian dari
pakaian adat pria bajawa. Boku adalah
selembar kain berwarna coklat kemerah-merahan yang dijadikan sebagai penutup
kepala seorang pria. Pada seorang saka
pu’u, boku dipakai dengan cara dililit sepenuhnya di bagian kepala
membentuk setengah lingkaran sedangkan pada seorang saka lobo, boku
dililitkan ke bagian kepala namun pada bagian depan kepala pemakai, boku dibuat
berujung cabang yang dinamakan mebha
rasa.
Marangia merupakan
selembar kertas tebal yang dihiasi dengan gambar-gambar yang berwarna-warni. Marangia biasa dijadikan pengikat boku
pada kepala seorang pria. Marangia
hanya boleh digunakan oleh seseorang pria yang belum pernah mempersunting
seorang gadis sebagai istri.
Boku dan marangia memiliki makna dalam
kehidupan manusia. Boku dianggap
sebagai mahkota seorang pria. Masyarakat meyakini bahwa seseorang yang
mengenakan boku adalah seorang yang
memiliki tutur kata dan tindakan yang baik (mosa
mina). Marangia menujukan bahwa
seseorang pria telah dewasa dan memiliki pribadi yang utuh dan matang.[9]
5.
PENUTUP
Keberagaman
budaya merupakan kekayaan yang tak terhingga. Akan tetapi kemajuan tehnologi
perlahan-lahan menutup ruang bagi kebudayaan lokal. Sebagai kaum muda akademis,
peran kita adalah menjaga, mempromosikan, serta melestarikan budaya daerah kita
masing-masing agar buadaya kita tidak tergerus zaman.
[1] Paul Arnt, Agama Orang Ngadha:
Kultus, Pesta dan Persembahan (Maumere: Candraditya, 2007), p. 64-65
[2] http://indahnyaflores.blogspot.com/2013/04/alat-musik-kabupaten-ngada.html (online), 2011, diakses pada
tanggal 21 oktober 2013 pukul 19.00 wita
[3] Paul Arnt, Agama Orang Ngadha: Dewa, Roh-roh Manusia, dan Dunia (Maumere: Candraditya, 2005), p.106
[4] Watu
Yohanes Vianey,
Local Code Of Ethic and Its
Implications For Awareness Shift In
Asia, (online), 2012 (http://people.audrn.net/profiles/blogs/local-code-of-ethic-and-its-implications-for-awareness-shift-in?xg_source=activity, diakses pada
tanggal 18 oktober 2013 pukul 12.00 wita). Penerjemahan arti dari syair ini dari bahasa Inggris ke
bahasa Indonesia dilakukan oleh penulis
sendiri.
[5] Watu, Yohanes Vianey, bid., P. 18
[6] Watu, Yohanes Vianey (online),
2013 (http://kupang.tribunnews.com/2009/10/20/rumah-adat-jai-dan--wisata--budaya--etnik-di-ntt, diakses pada tanggal 13 oktober
2013 pukul 14.00 wita).
[7]
Wawancara bersama bapak
Martinus Sake, salah satu pelaku adat dari sao Toda Mai , Bowaru, Langa via handphone
pada tanggal 24 oktober 2012
[8]
Wawancara bersama bapak
Arnoldus Luba, salah satu pelaku adat dari sao Toda Mai , Bowaru, Langa via handphone
pada tanggal 24 oktober 2012
[9] Wawancara bersama bapak Martinus
Sake, salah satu pelaku adat dari sao Toda Mai , Bowaru, Langa via handphone pada tanggal 25 oktober 2012